bacaartikeldisiniaja -- Dengan mengamati langit malam, baik secara langsung maupun melalui media online, kita melihat pemandangan serupa, yaitu gelapnya langit di luar angkasa.
Namun kegelapan ini menimbulkan pertanyaan klasik yang disebut paradoks Olbers, yaitu mengapa ruang angkasa tampak gelap padahal ada miliaran bintang terang di alam semesta?
Awalnya, astronom Jerman Heinrich Olbers berteori bahwa keberadaan materi seperti awan debu di antara bintang-bintang akan menyerap cahaya sehingga membuat ruang angkasa menjadi gelap.
Namun hipotesis ini bertentangan dengan hukum pertama termodinamika yang menyatakan bahwa materi yang menyerap cahaya akan secara spontan mengeluarkan panas dan cahaya.
Pada abad ke-20, paradoks Olbers akhirnya teratasi.
Diketahui bahwa Alam Semesta terus mengembang, menyebabkan cahaya dari galaksi jauh beralih ke spektrum inframerah, ultraviolet, dan radio, yang tidak terlihat oleh mata manusia.
Artinya seluruh ruangan akan tampak bersinar jika kita dapat mendeteksi gelombang mikro.
Seperti dikutip detikINET dari Orbital Today, Kamis (13 Juni 2024), jawaban sebenarnya terletak pada keberadaan atmosfer.
Di ruang yang hampir kosong, cahaya tidak memiliki objek yang memantulkannya.
Namun, di Bumi, sinar matahari dipantulkan dari atmosfer sehingga menyebabkan hamburan spektrum cahaya yang terlihat oleh mata manusia.
Interaksi antara foton dan atom, molekul, dan debu atmosfer menyebabkan distribusi cahaya yang berbeda.
Atmosfer bumi sebagian besar menghamburkan cahaya biru karena panjang gelombangnya lebih pendek dibandingkan cahaya merah, sehingga langit siang hari tampak biru.
Fenomena serupa juga terjadi di Mars namun intensitasnya lebih kecil karena atmosfernya lebih tipis.
Sebaliknya, jika kita berada di planet atau satelit yang atmosfernya tidak ada atau sangat tipis seperti Bulan atau Merkurius, langitnya akan tetap hitam siang dan malam.